Karena dianggap sudah cukup umur dan dewasa, Mina dan Lina dipanggil
ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan kakak-beradik itu.
“Kalian sudah cukup dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga,” kata sang ibu.
“Ya kami mengerti Bu, Kami mau dikawinkan dengan satu syarat,” kata Mina dan Lina.
“Apa syaratnya Nak?” kata ibunya
“Karena kami kakak-beradik, maka suami kami juga harus kakak-beradik.”
Sang
ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak perkawinan. Menurut Mina dan
Lina, perkawinan membuat orang kehilangan segala sesuatu yang mereka
cintai: orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung halaman.
Demikianlah,
karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang menyunting Mina dan Lina,
mereka tak kunjung menikah. Waktu pun terus berlalu. Ibu Mina dan Lina
meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya, gadis
kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu
hari, sekelompok bajak laut menculik Lina. Pemimpin bajak laut itu
ingin memperistri Lina. Lina menolak dan meronta sekuat tenaga.
Penculikan
itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin terpisah dari adiknya, Mina
bertekad menyusul Lina. Dengan perahu yang lebih kecil, Mina mengejar
perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak dihiraukannya. Mina
terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba
mendung datang. Tak lama kemudian hujan pun turun. Halilintar
menggelegar, petir menyambar-nyambar. Orang-orang berlarian ke rumah
masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu penculik Lina,
menelan Lina, menelan Mina, menelan semuanya.
Ketika keadaan
kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh dua pulau yang tiba-tiba
muncul di kejauhan. Mereka yakin, pulau itu adalah penjelmaan Mina dan
Lina. Kedua pulau itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera dan Sekijang
Pelepah, tetapi kebanyakan orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar